
JAKARTA, KOMPAS.com — Sekitar 48
tahun lamanya, warga negara Indonesia mengenal ujian kelulusan. Namanya
bermacam-macam, tetapi mengusung tujuan yang sama, yaitu lulus dari
jenjang satu untuk melanjutkan ke jenjang lainnya. Ironisnya, tak satu
pun dinilai berhasil memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia.
Penasihat
Ikatan Guru Indonesia (IGI), Itje Chodijah, mengatakan bahwa sekian
lama ujian penentu kelulusan ini hanya memenuhi agenda pemerintah untuk
melanjutkan proyek dengan aliran dana yang besar.
"Kalau dibilang
keberhasilan UN itu keberhasilan seperti apa? Lulus semua itu dibilang
berhasil? Itu hanya keberhasilan semu. Sejak lama, UN ini sudah gagal,"
kata Itje saat dijumpai seusai jumpa pers pelaksanaan UN di Kantor ICW,
Jakarta, Selasa (16/4/2013).
Seperti diketahui, Ujian Nasional
(UN) yang dikenal sekarang berawal dengan nama Ujian Negara pada tahun
1965-1971, lalu sempat diambil alih oleh sekolah dan disebut Ujian
Sekolah pada tahun 1972-1979. Mulai tahun 1980-2000, Ujian Sekolah
diganti oleh Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) dengan
dalih mengendalikan mutu pendidikan nasional dan kembali dijalankan oleh
pusat.
Memasuki periode 2001-2004, Ebtanas berubah nama menjadi
Ujian Akhir Nasional (UAN). Kemudian, mulai 2005 hingga saat ini, nama
UN yang digunakan dengan perbedaan aturan seperti adanya nilai batas
kelulusan untuk tiap mata pelajaran dan rata-rata nilai serta
menggabungkan dengan akumulasi nilai rapor dan ujian sekolah.
"Tapi, pada dasarnya, mau seperti apa pun, UN ini nggak penting. Kalau dibilang nasional, standar pendidikan seperti apa yang dipakai? Standar sekolah kota pastinya," ujar Itje.
Hal
ini tentu tidak adil bagi daerah-daerah di luar ibu kota atau di luar
Pulau Jawa yang memiliki standar pendidikan jauh berbeda. Saat dibilang
merata dan diberikan kisi-kisi yang sama, pada kenyataannya, hal
tersebut sulit berjalan karena UN ini tidak hanya terbatas pada standar
materi ujian.
"Sekarang soalnya sama semua. Tapi, pengajarnya
yang mengajarkan materi itu kemampuannya tidak sama, lalu anaknya yang
diuji. Coba bayangkan saja logikanya seperti apa," ungkap Itje.
Untuk
itu, ia memberi saran agar tiap unsur pendidikan baik guru, kepala
sekolah, maupun pengawas distandardisasi terlebih dahulu. Apabila
standar minimumnya tercapai dan ada patokan yang pasti, anak-anak berhak
diuji sesuai dengan standar yang ada.
"Jadi, UN boleh saja selama semuanya sudah standar. Ya guru, kepala sekolah, pengawas, dan sekolahnya sendiri," ujarnya.
Pada
kenyataannya, pemerintah sendiri mengklasifikasikan sekolah dengan
sekolah unggulan, sekolah standar nasional, sekolah reguler, sekolah
satu atap, dan lain-lain. "Tapi, saat ujiannya disamakan, masuk akal
atau tidak seperti itu," ungkapnya.
"Jadi, di luar penundaan UN
dan teknis lainnya, ujian seperti ini sudah tidak penting. Siswa belajar
hanya untuk ujian, bukan untuk menguasai suatu hal," tandasnya.
Editor :
Caroline Damanik
Artikel Terkait
3 comments:
Karena kepentingan proyek, UN pun tetap di adakan, tanpa peduli dengan kondisi realita bangsa,
semoga saja pejabat-pejabat yang demikian segera sadar diri sebelum di tegur oleh Allah SWT,
Aamiin...kita doakan saja, semoga Indonesia menjadi lebih baik.
Trims....
Terima kasih nih sudah share informasinya.
Semoga semakin sukses.
Post a Comment