
Merdeka - Menurut pakar pendidikan Henry
Alexis Rudolf Tilaar, pemerintah saat ini tidak memiliki komitmen memperbaiki
mutu pendidikan. Bahkan mereka dinilai tidak memiliki konsep jelas dan
menyeluruh soal pendidikan Indonesia ke depan.
Konsep ujian nasional diprotes
sejak 2006 tidak ada dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Meski begitu, pemerintah tetap melaksanakan. Ujian
nasional kerap dirundung masalah, bahkan tahun ini bisa disebut pelaksanaan
terburuk.
Tilaar menegaskan keterlambatan
pelaksanaan ujian nasional di sebelas provinsi menunjukkan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Muhammad Nuh tidak becus.
Berikut petikan wawancara Tilaar
dengan Islahuddin dan Alwan Ridha Ramdani dari merdeka.com pada Selasa (16/4)
siang di kediamannya yang asri di bilangan Patra Kuningan Utara, Jakarta
Selatan.
Bagaimana Anda melihat
pelaksanaan ujian nasional tahun ini?
Sejak 2006 saat ujian nasional
muncul, saya sudah tidak sependapat. Bahkan saya gugat sampai Mahkamah Agung,
tapi keputusannya tidak digubris oleh menteri pendidikan dan kebudayaan.
Pendapat yang mana Anda maksud?
Pendapat itu saya tuangkan dalam buku Standarisasi Pendidikan Nasional:
Suatu Tinjauan Kritis. Di situ saya tulis dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, ujian nasional tidak dilaksanakan lagi. Tapi di
lapangan, ujian nasional jalan terus karena dananya sudah ada.
Terus apa yang salah dari ujian nasional ini?
Yang saya persoalkan, apa sebenarnya tujuan dari ujian nasional? Apakah
menghakimi anak atau meningkatkan mutu pendidikan nasional. Ini dua masalahnya.
Pada 2006, ini menjadi polemik di surat kabar. Katanya ujian nasional bisa
meningkatkan mutu pendidikan nasional, tapi yang terjadi malah memunculkan
nilai-nilai negatif dalam pelaksanaan.
Saya pernah bicara di Yayasan Air Guru di Medan. Saya bicara atas undangan
mereka dihadiri 1.200 guru Sumatera Utara. Ada kasus terjadi di sana, guru mau
jujur dalam pelaksanaan ujian nasional malah dipecat. Tahun lalu, ada anak
mengajak temannya jujur malah dipermasalahkan sampai ibunya dikucilkan dari
kampung. Inilah akibatnya, yang jujur hancur. Inilah ekses-ekses ujian nasional
menghakimi anak.
Jadi efek negatifnya lebih
banyak?
Nilai-nilai negatif itu banyak muncul di situ. Terjadinya pembocoran
jawaban. Malahan saya ingat pada 2006, polisi membawa lembar ujian. Setelah
diprotes, kemudian diganti dosen atau pengawas, tapi itu tidak menyelesaikan
masalah.
Apa saja masalah lainnya menurut Anda?
Kepala dinas itu menyuruh kepala sekolah meluluskan seratus persen. Ada
target di situ. Kenapa? Kepala sekolah di bawah kepala dinas. Sedangkan kepala
dinas ini bawahannya bupati. Sedangkan bupati bilang kalau tidak lulus maka
akan dipindahkan. Apalagi banyak dari mereka itu tim sukses bupati, jadinya pokoknya
lulus seratus persen.
Apa Anda pernah menemukan efek buruk dari ujian nasional ini?
Ada seorang mahasiswa unggulan lulusan ujian nasional masuk ITB. Tetapi dia
tidak bisa mengikuti pelajaran sehingga terus mengulang. Dia tidak bisa
dikeluarkan karena sudah mendapatkan beasiswa dari daerah. Tetapi di
daerah-daerah itu lulus seratus persen. Ini adalah ekses-ekses. Ujian nasional
bukan untuk membantu anak tetapi menghakimi anak.
Jadi memang ujian nasional tidak memiliki peran dalam peningkatan mutu
pendidikan nasional?
Saya lebih sepakat menggunakan
istilah evaluasi proses pendidikan. Sebab ujian itu sesuatu yang sesat. Sedangkan pendidikan di sekolah itu
suatu proses dan proses ini sangat panjang. Maka yang tahu proses ini adalah
guru, bukan menteri. Jadi yang mengevaluasi proses belajar itu harus sekolah.
Tapi ini dihilangkan oleh ujian nasional. Kita lihat misalnya anak-anak kelas
enam SD atau kelas tiga SMP dan SMA, pelajarannya adalah mempersiapkan mata
pelajaran ujian nasional. Yang tidak diujikan dalam ujian nasional tidak
dipelajari.
Ini berakibat pada merosotnya nasionalisme anak-anak Indonesia. Sebab
sejarah tidak dimasukkan, geografi juga tidak dimasukan. Jadi anak-anak kita
tidak tahu apa itu Sabang sampai Merauke. Anak-anak tidak tahu perjuangan
bangsa Indonesia ini.
Suatu ketika saya pernah bertemu anak orang kaya. Anak itu saya tanya siapa
Soekarno? Jawaban anak itu, Soekarno adalah anak Hatta. Jawaban itu
karena dia sering bolak-balik ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.
Bagaimana pendapat Anda tentang
kacaunya ujian nasional tahun ini?
Kemarin saya di telepon oleh
adik-adik saya di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Mereka bilang begini, kami
ini pengawas dari Universitas Tadulako, kita sudah sampai di Kepulauan Banggai,
Sulawesi Tengah. Kami dapat uang jalan untuk delapan hari. Sudah empat hari
kami di sini menunggu ujian, ternyata diundur. Kami harus bagaimana? Saya
perintahkan pulang saja, ini adalah mismanajemen dari Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Mereka ngotot ujian nasional tetap dijalankan.
Seberapa kecewa Anda dengan
pelaksanaan ujian nasional tahun ini?
Lihat saja, sejak 2006 saya sudah
menulis, tapi tidak mau dibaca oleh menteri. Mereka itu sudah dikuasai falsafah positivisme, segala sesuatu bisa
dihitung. Itu tidak bisa jadi kebijakan. Anak didik ini bukan barang
produksi, dia adalah anak Indonesia. Dia punya perasaan, punya pikiran, harus
kita bawa menjadi manusia Indonesia, bukan robot.
Bagaimana dengan ujian nasional
yang molor di sebelas provinsi?
Saya katakan ini mismanajemen.
Jauh-jauh hari sudah ditetapkan dan pemilihan percetakan, apakah benar-benar
mumpuni. Ternyata percetakannya konyol, tidak sanggup. Makanya, ini mesti
diteliti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kementerian Keuangan, apa yang
terjadi di sana.
Apa tidak cukup investigasi
internal kementerian?
Ya internal juga, terutama dalam
pemilihan percetakan. Misalnya begini, kenapa harus dicetak di Jawa, apakah di
provinsi itu tidak memiliki percetakan? Di beberapa provinsi ada percetakan
negara, kenapa tidak menggunakan itu. Kalau menggunakan percetakan negara,
jelas mereka tidak mendapatkan uang. Masak, sudah 68 tahun merdeka, daerah
tidak punya percetakan. Ini aneh.
Pendidikan sudah jadi permainan politik. Ini korupsi. Contohnya juga bisa
dilihat dalam pembuatan kurikulum. Saat uji publik kurikulum baru, saya
protes. Itu tidak ada dalam Rencana Strategis 2009-2014 kementerian. Di situ
disebut tidak ada pergantian kurikulum.
Menteri pendidikan dan kebudayaan
bilang alasannya Keppres nomor 10 soal Rencana Induk Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia. Saya bilang begini, Keppres itu lebih rendah
dari undang-undang. Saya bicara begitu, malah Menteri Nuh kabur. Padahal saya
diundang untuk uji publik, artinya publik yang menguji.
-----------------------------------
Biodata
Nama:
Prof. Dr. Henry Alexis Rudolf
Tilaar., M. Sc. Ed
Tempat dan Tanggal Lahir:
16 Juni 1932
Istri:
Martha Tilaar
Pendidikan:
Sekolah Pendidikan Guru, Bandung
(1950-1942)
Ijazah Pedagogi, Bandung
(1957-1959)
Sarjana, Universitas Indonesia
(1961)
Master of Sciense of education,
Universitas Chicago (1967)
Doctor of education, Universitas
Chicago (1969)
Karier:
Guru Sekolah Rakyat, Bandung
(1952)
Guru Besar Emeritus, Universitas
Negeri Jakarta
Anggota Dewan Riset Nasional
(1994-2004)
Staf inti Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (1970-1993)
Asisten Menteri Bidang
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Artikel Terkait
0 comments:
Post a Comment