
Penulis : Mahfudz Fauzi
“Agent of social change“. Masih ingatkah dengan pernyataan
tersebut? Sungguh sangat menarik jika ditelisik mendalam dan dikaji
ulang. Sebab, hanya karena predikat tersebutlah derajat mahasiswa
diunggul-unggulkan. Dengan berbagai persepsi, baik dari kalangan awam
maupun terdidik, semua mengamini hal tersebut.
Jika dirasionalkan memang masuk akal. Sebab, dilihat dari konteks
penamaannya, mahasiswa berasal dari dua kata, maha dan siswa. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahasiswa berarti besar, amat,
sangat. Sedangkan siswa adalah murid. Dapat disimpulkan bahwa, mahasiswa
merupakan seorang murid yang besar.
Besar di sini tentu dalam tanda kutip. Memang mengandung berbagai
interpretasi, namun pada hakikatnya sangat mudah jika dilogika. Besar
dalam hal derajat, tingkat, atau besar dalam hal beban yang diemban oleh
mahasiswa itu sendiri. Hal tersebut merupakan sebuah kewajaran. Sebab,
secara formal mahasiswa menempati posisi puncak (Akhir).
Dengan kondisi tersebut, masyarakat memanggap bahwa mahasiswa dapat
berbuat segalanya. Mereka tidak mau tahu bagaimana bentuk dan wujud,
serta harkat dan martabat mahasiswa. Jika mahasiswa pasti orang hebat,
yang dapat berbuat segala hal tanpa terkecuali. Terutama, memberi warna
baru terhadap lingkungan sekitarnya.
Eksistensi mahasiswa dalam tataran negara
juga sangat sentral. Sebab, lewat semangatnya, pemikirannya, serta
usaha-usaha yang penuh dengan kekreatifan dapat menjadi sumbangsih
berharga terhadap negara. dengan bermodal kepekaannya terhadap segala
hal, tentu dapat menjadi alat penting bagi negara.
Peka di sini adalah dalam hal baru. Baik yang bersifat penyelewengan
ataupun sebuah pencapaian luar biasa. Dengan hakikat mahasiswa yang
notabene berdarah muda, dengan semangat-45, mereka siap tanggap seperti
halnya petugas pemadam dikala musibah kebakaran terjadi.
Dapat dilihat realitanya, berbagai inovasi dan kreasi apik diciptakan
oleh mahasiswa negri. Dalam bidang masing-masing, ciptaannya mampu
mendobrak hingga kancah internasional. Tidak tanggung-tanggung, tidak
sedikit karya mahasiswa negeri yang mampu menggaet berbagai penghargaan
di luar negewri atas prestasinya.
Dengan demikian, secara tidak langsung mereka telah membawa nama baik
negara. Setidaknya, dengan berbagai hasil pemikirannya mampu mengangkat
kondisi Indonesia menuju ke yang lebih baik. Seperti halnya yang di
damba-dambakan oleh masyarakat, kemaslahatan segera dirasakan hingga
anak cucu nanti.
Yang diharapkan oleh masyarakat memang kemaslahatan hakiki. Hidup
makmur, aman, tentram, sehingga segala aktifitas sehari-hari dapat
dilakukan dengan sepenuh hati, bukan makan hati. Mengingat kondisi
negeri yang amburadul. Dengan hal tersebut, wajar jika seorang mahasiswa
dituntut habis-habisan untuk menjadi seorang revolusioner.
Sebab, jika menengok ke belakang dedikasi mahasiswa memang
benar-benar nampak. Peran Soe Hok Gie, 1966 yang telah berhasil
melumpuhkan orde lama. Selanjutnya, lewat sumbangsih Hariman Siregar
tahun 1974 berhasil memboikot Jepang. Belum lagi, peristiwa di 1998.
Jadi sangat irasional jika dedikasi mahasiswa terjalin secara abstrak.
Mahasiswa antara das sein dan sollen
Berbicara tentang eksistensi mahasiswa
terhadap negara, memang cukup rumit. Sebab, jika ditela’ah lebih dalam,
realitanya (das sein) mahasiswa Indonesia mengalami disfungsi. Walaupun
ada yang mampu membawa nama baik negara, itupun presentasinya sangat
limit. Tak sebanding dengan jumlah mahasiswa di Indonesia.
Sesuai hasil kalkulasi, jumlah mahasiswa Indonesia sekira 4,8 juta.
(Kompas.com, 30/11/12) Namun, eksistensi jutaan mahasiswa Indonesia
tersebut tak sebanding dengan track record yang dihasilkan olehnya.
Justru, tambah tahun tambah pula jumlah pengangguran hasil output
mahasiswa dalam negeri.
Sangat disayangkan, harapan bangsa dipupuskan oleh kondisi mahasiswa
zaman sekarang. Realitanya memang demikian, mayoritas mahasiswa sekarang
lebih mengutamakan life style dibanding dengan life modal. Masa depan mereka dinomor duakan, kesenangan semulah yang di unggul-unggulkan.
Hari-hari mahasiswa hanya disibukkan dengan aktivitas datarnya, yang
terkesan monoton. Setiap hari yang dilakukan hanya kuliyah
pulang-kuliyah pulang (kupu-kupu), atau kuliyah nongkrong pulang
(kunang-kunang), dan kuliyah rapat-kuliah rapat (kura-kura).
Padahal, seharusnya (das sollen) mahasiswa lebih peka, dan bersikap
futuristik demi masa depan nusa, bangsa, dan agamanya. Masih mending
jika mereka telaten dalam hal perkuliahan. Tentu dari segi materi
perkuliyahan. Tak usah pikir panjang, jika memang demikian yang
dilakukan oleh mahasiswa. Pasti outputnya menjadi seorang yang pintar
dalam bidangnya. Namun, pintar disini masih dalam lingkup lokal.
Sebab, jika ditelaah lebih dalam output mahasiswa yang notabene
pintar sangat banyak. Namun, yang tidak mempunyai relasi pasti terjebak
pengangguran seperti halnya mahasiswa lain. Sungguh memprihatinkan,
pintar namun hanya menambah jumlah pengangguran dalam negeri.
Problem ini harus benar-benar ditanggapi dengan serius, dengan usaha
nyata dan target jelas. Sudah sepatutnya mahasiswa sadar dengan
problematika ini. Jiwa nasionalismenya harus dibangun sejak dini, dan
dengan bumbu religi yang cukup. Sehingga, keduanya mampu bersinergi dan
menopang satu sama lain.
Memaksimalkan aktivitas kampus memang hal positif. Terlebih dalam hal
akademik. Namun, yang perlu diperhatikan dengan khusus adalah
pengalaman dalam suatu organisasi.
Sebab, dengan berorganisasilah mahasiswa dapat pengalaman yang beda
dari apa yang didapat di kampus. Yang paling penting adalah, mendapat
relasi teman yang banyak.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa beradaptasi di lingkungan
akademikus yang terpenting adalah berproses lewat organisasi. Maka
timbul wacana bahwa, yang wajib adalah organisasi. Sebab, dengan
berakselerasi di dalam organisasi akan menimbulkan jiwa leader yang
berideologi nasionalisme.
Oleh karena itu, output mahasiswa jelas arah dan tujuannya. Dengan
modal yang cukup, mampu menjadi revolusioer. Dalam hal ini das sollen
terpenuhi, dan das sein mahasiswa yang cukup memprihatinakan akan sirna.
Pasalnya, Indonesia pada hakikatnya butuh darah baru yang mempunyai
jiwa perubahan.
Karena itu, riwayat mahasiswa jelas, yang berguna bagi nusa bangsa
dan agama. Sebab, sesuai dengan teori piramida sosialnya Karl Max
mahasiswa menempati posisi vital. Yaitu sebagai pengotrol antara aparat
negara dan warga negara. Wallahu a’lam bi al-shawab.
-----
Mahfudh Fauzi
Mahasiswa Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan
Peraih Beasiswa Unggulan Monash Institute (//ade)
Mahasiswa Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan
Peraih Beasiswa Unggulan Monash Institute (//ade)
Sumber : http://www.dikti.info/2013/05/14/dosa-besar-mahasiswa/#comment-49
Artikel Terkait
0 comments:
Post a Comment