
Oleh : Iwan Syahril*
Ujian Nasional (UN) telah menjadi benang yang sangat kusut dan menjadi
polemik yang tak berkesudahan dalam sistem pendidikan kita. Dalam
tulisan ini saya mengajak pembaca untuk menelaah UN dengan melintasi
waktu dan ruang. Pertama, dalam melintasi waktu, saya ingin
membandingkan UN dengan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas),
bentuk ujian standarisasi tingkat nasional sebelum era reformasi.
Kedua, dalam melintasi ruang, saya ingin membandingkan UN dengan CSAT, high-stakes exam di Korea Selatan yang terkenal membuat siswa-siswa Korea Selatan stres setengah mati.
UN dan Ebtanas
Indonesia sudah lama memiliki ujian standarisasi beresiko tinggi di
level nasional. Ada Ujian Negara, Ebtanas, UAN, dan UN untuk ujian
akhir, dan Sipenmaru, UMPTN, SPMB, dan SNMPTN untuk ujian masuk
perguruan tinggi negeri. Peserta tes harus menjawab sejumlah soal
pilihan ganda dalam waktu singkat, dan kegagalan dalam memilih opsi
jawaban di tes-tes tersebut berakibat sangat fatal bagi nasib peserta
tes. Singkatnya, format tes seperti ini tidak asing lagi bagi Indonesia.
Ketika saya dan teman-teman angkatan saya mempersiapkan diri untuk
Ebtanas di tingkat SD, SMP, dan SMA, lalu UMPTN untuk tes masuk
perguruan tinggi, kami sangat tegang karena takut gagal dan tidak lulus.
Kami pun belajar dengan tekun agar bisa menjawab soal-soal pilihan
berganda itu dengan baik. Keyakinan kami bahwa hasil bagus akan
diperoleh jika kita belajar dengan rajin. Ebtanas saat itu menjadi
bagian komponen kelulusan, kalau tidak salah sekitar 30 atau 40 persen.
Lalu kenapa dalam konteks UN, kondisinya menjadi begitu kisruh, keruh,
dan semrawut, hingga jadi derita dan petaka tak berkesudahan berbagai
pihak?
Menurut saya semua berawal di awal era reformasi ketika semangat
desentralisasi menular ke bidang pendidikan. Pendekatan Manajemen
Berbasis Sekolah menjadi bentuk pembaharuan yang populer karena otonomi
sekolah dan guru mulai diutamakan. Ini tercermin dalam UU Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 2003 yang menyatakan “kelulusan peserta
didik ditentukan oleh pendidik…” (pasal 58, ayat 1). Ebtanas dihapuskan.
Anehnya, wacana ujian akhir tingkat nasional kembali dicuatkan oleh
pemerintah. Namanya diganti menjadi UAN (Ujian Akhir Nasional). Walau
ditentang banyak pihak, khususnya karena bertabrakan dengan semangat UU
Sisdiknas baru, pemerintah bersikukuh UAN perlu diadakan. Alasannya
antara lain untuk peningkatan mutu pendidikan dan pemetaan kualitas
pendidikan. Komentar-komentar yang dilontarkan oleh para pengambil
kebijakan UAN memiliki dua asumsi utama. Pertama, guru-guru,
sekolah-sekolah, dan siswa-siswa Indonesia pemalas. Karena itu mereka
perlu dilecut untuk bisa maju dan berkembang seperti negara-negara
tetangga. UAN kemudian berfungsi sebagai alat pelecut mereka supaya mau
bekerja lebih keras. Asumsi inti kedua, guru-guru dan sekolah-sekolah
tidak dapat dipercaya sebagai penentu kelulusan. Nilai-nilai siswa
sering digelembungkan agar semua siswa bisa lulus. Karena itu pemerintah
pusat harus kembali memegang peranan utama. Asumsi ketidakpercayaan
terhadap kredibilitas sekolah ini masih sangat terasa hingga sekarang.
Lalu jika sekedar ujian tingkat nasional seperti Ebtanas, kenapa UAN
kemudian menjadi heboh? Ada dua faktor kunci yang menjadi pembeda.
Pertama, dalam konteks UAN, pemerintah dinilai melanggar UU Sisdiknas
dengan tetap melaksanakan UAN. Hal ini menimbulkan cacat
kredibilitas/integritas dalam aspek legalitas yang tak pernah terjadi
sebelumnya. Kedua, dipatoknya nilai kelulusan minimal untuk mata
pelajaran yang diujikan. Jika gagal di satu mata pelajaran saja, siswa
yang bersangkutan otomatis tidak lulus sekolah. Hal ini juga tidak
pernah terjadi di ujian-ujian sebelumnya. Sepertinya pemerintah
terobsesi menjadikan UAN sebagai alat pelecut yang hebat dengan
meningkatkan resiko gagal UAN setinggi-tingginya.
Tahun 2003 ada tiga mata pelajaran yang diujikan, Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris dan Matematika. Dengan nilai kelulusan minimal ini 3,01
dilaporkan 8% siswa tidak lulus, termasuk sejumlah siswa-siswa unggul.
Padahal mereka langganan peringkat atas kelas, sebagian telah diterima
di perguruan tinggi bergengsi di dalam dan luar negeri, dan mendapat
beasiswa pula. Keangkeran UAN pun mulai terasa oleh semua pihak. Ia
mulai menebar luka-luka psikologis.
Bencana terjadi di tahun 2004, ketika nilai kelulusan minimal
dinaikkan menjadi 4,01. Setelah ujian dilaksanakan pengamat banyak yang
pesimis dan memperkirakan angka ketidaklulusan mencapai setidaknya 20%.
Ajaibnya, secara mendadak pemerintah mengeluarkan tabel konversi nilai.
Sederhananya, dengan tabel ini terjadi subsidi nilai: siswa yang
nilainya bagus dikurangi nilainya untuk diberikan kepada siswa yang
nilai ujiannya rendah, sehingga membantu menekan angka kelulusan.
Walaupun tabel konversi ini katanya bisa dijelaskan dengan ilmu
statistik, menurut saya tabel ini sangat memalukan. Para siswa, guru dan
sekolah pun merasa tertipu karena nilai-nilai hasil ujian dengan
mudahnya dipertukarkan oleh pemerintah. Sebagai catatan, di ujian
standarisasi di negara manapun, penggunaan tabel konversi ini tidak
pernah terjadi. Tabel konversi ini membuat kredibilitas dan integritas
pemerintah sebagai penyelenggara ujian semakin jatuh. Dengan tabel ini,
luka-luka psikologis ditambah lagi dengan luka-luka moral. UAN pun
menjadi momok yang semakin menakutkan.
Walaupun angka ketidaklulusan resmi menjadi 10%, semua paham bahwa
yang sebenarnya tidak lulus setidaknya dua kali lipat lebih besar dari
angka tersebut. Menurut saya kenyataan ini menimbulkan krisis
kepercayaan diri yang sangat serius di kalangan sekolah. Mereka menjadi
tidak yakin bahwa mereka memiliki kemampuan yang cukup untuk
mempersiapkan siswa-siswanya menghadapi UAN. Tahun 2005, di awal masa
pemerintahan Presiden SBY, UAN diganti namanya menjadi Ujian Nasional
(UN). Nilai kelulusan minimal dinaikkan kembali menjadi 4,51 sehingga
tingkat kesulitan bertambah dan resiko makin tinggi. Mulai tahun 2005
inilah mulai marak terdengar laporan-laporan contek masal dan sistematis
yang diorganisasikan oleh guru dan sekolah.
Laporan-laporan ini benar-benar membuat miris. Bagaimana tidak? Guru
dan sekolah yang seharusnya menjadi teladan dan penjaga nilai-nilai
moral, malah secara terang-terangan memberi contoh yang melanggar nilai
moral yang paling fundamental, kejujuran. Bagaikan nila setitik yang
merusak susu sebelanga, semua nilai-nilai moral yang diajarkan dari masa
kanak-kanak pun runtuh semuanya karena contek masal ini. Sedih sekali
mendengar bahwa anak-anak tumpuan masa depan bangsa kita belajar untuk
bertindak tidak jujur dari guru dan sekolah mereka sendiri. Musnah sudah
kredibilitas dan integritas guru dan sekolah sebagai teladan moral dan
etika. Siswa-siswa itu boleh lupa semua pengetahuan yang mereka pelajari
dalam menjawab soal ujian, namun mereka takkan pernah lupa contoh
tindakan tidak jujur yang diajarkan pada mereka ketika melakukan UAN
tersebut. Takkan pernah lupa sampai mereka nanti menjabat berbagai peran
penting di negara kita di masa depan. Karena itu tak terbayangkan
betapa dahsyatnya kerusakan yang ditimbulkan oleh contek masal ini.
Yang lebih sedihnya lagi, ketika ada yang berani bersuara dan
menentang ketidakjujuran, mereka malah dikucilkan dan diberi hukuman.
Masih ingat teman-teman Komunitas Air Mata Guru dari Sumatra Utara?
Perjuangan mereka menyuarakan kecurangan berbuah pada pengurangan jam
mengajar dan sebagian dipecat. Aneh sekali bukan? Yang hendak jujur dan
bersuara lantang untuk memperjuangkan kejujuran bukannya jadi pahlawan,
teladan, dan inspirasi. Mereka justru dijauhi dan diberi sanksi.
Hal ini pun yang membedakan UAN/UN dengan Ebtanas. Saya rasa di zaman
Ebtanas, kita berkeyakinan bahwa ketika ada yang tertangkap nyontek,
maka ada hukuman. Dulu aneh sekali rasanya jika mendengar berita contek
masal yang diorganisasi sekolah dan guru. Saat ini, semua seperti
dianggap biasa. Kejujuran bukan lagi menjadi norma, tapi menjadi
pengecualian. Mereka yang ingin jujur pun dikucilkan dan diberi sanksi.
Benar-benar menyedihkan. Menurut saya, apapun sikap kita terhadap UN,
kita tidak boleh pernah mengorbankan nilai kejujuran. Apapun alasannya.
Ketika institusi pendidikan formal kita gagal menjadi suri teladan dan
penjaga nilai-nilai moral, rusak sudah semuanya. Luka-luka psikologis
dan luka-luka moral itu yang tadinya diakibatkan oleh pemerintah
sekarang telah diakibatkan pula oleh guru dan sekolah. Luka-luka itu pun
menjadi teramat parah saat ini.
UN dan CSAT
Korea Selatan (Korsel) merupakan salah satu negara yang saat ini
memiliki ekonomi yang kuat dan kualitas pendidikan yang sangat baik.
Performa siswa-siswa mereka di berbagai tes internasional seperti PISA
dan TIMSS secara konsisten menempatkan mereka pada urutan-urutan papan
atas. Sistem pendidikan terkenal negeri ginseng ini sangat kompetitif.
Korsel memilliki ujian standarisasi yang terkenal sangat menakutkan.
Namanya College Scholastic Ability Test (CSAT). Tes ini
merupakan tes masuk perguruan tinggi, dan ada tiga universitas sasaran
utama: Seoul National University, Korea University, dan Yonsei
University, sering disingkat menjadi “SKY.” Kegagalan masuk SKY akan membuat masa depan suram, bukan hanya dalam mencari pekerjaan tapi katanya juga dalam mencari jodoh.
CSAT merupakan salah satu penyebab utama tekanan mental dan emosional
yang sangat tinggi pada siswa-siswa di Korsel, salah satu yang
tertinggi di dunia. Tekanan tersebut juga dirasakan oleh orang tua.
Sedari dini (bahkan dari preschool) mereka mempersiapkan
anak-anak mereka untuk dapat melewati tes CSAT tersebut. Selain
memastikan bahwa anak-anak mereka mendapat sekolah yang bagus, mereka
juga berusaha keras agar anak-anak mereka belajar dengan keras agar
mendapat nilai yang baik pula. Bimbingan belajar tumbuh subur; yang
bagus sangat populer dan harganya sangat mahal. Para orang tua di sana
sampai-sampai mempertimbangkan jumlah anak karena pertimbangan beban
biaya pendidikan. Dan beban ini pun menjadi salah satu penyebab utama
penurunan jumlah anak di Korsel; dari 6 anak per keluarga di tahun
1960an menjadi 1.15 di tahun 2009.
Siswa-siswa SMA di Korsel bersekolah dari jam 7 pagi hingga jam 4
sore. Sesudah itu mereka belajar di perpustakaan atau di bimbingan
belajar hingga tengah malam. Bahkan sejumlah siswa belajar hingga dini
hari dan baru pulang ke rumah jam 2 atau 3 pagi. Akibatnya di sekolah,
seringkali siswa mengantuk karena kurang tidur. Siswa kelas 3 SMA tidak
memiliki hari libur karena harus belajar 7 hari dalam seminggu. Ini
sudah menjadi pakem yang lazim. Bahkan ada kepercayaan di antara
siswa-siswa SMA di Korsel bahwa semakin terbiasa kurang tidur, semakin
tinggi kemungkinan masuk SKY. Katanya jika tidur 3 jam atau kurang dari
itu, prospek masuk SKY cukup tinggi. Jika tidur 4-5 jam, prospeknya
hanya untuk masuk universitas kelas bawah. Jika tidur lebih dari 5 jam,
jangan harap dapat kesempatan berkuliah.
Poin yang hendak saya sampaikan di sini adalah tekanan ujian CSAT di
Korsel begitu tingginya dan sekilas mirip dengan tekanan yang dialami
siswa-siswa Indonesia ketika menghadapi UN. Bisa jadi memang tekanan
CSAT lebih berat. Namun walaupun tekanan begitu tinggi, para pemangku
kepentingan pendidikan di Korsel tetap menjaga kredibilitas dan
integritas. Mereka tidak menjadikan CSAT sebagai alasan untuk
mengorbankan nilai-nilai etika dan moral. Kejujuran tetap dipegang
teguh. Untuk menjawab tantangan beratnya resiko CSAT, mereka
menyikapinya dengan berlomba-lomba untuk bekerja keras. Ini yang
membedakannya dengan konteks UN.
Saya pribadi tidak setuju dengan situasi tekanan yang luar biasa
ekstrimnya pada sistem pendidikan di Korsel, tapi saya salut dengan
keteguhan mereka dalam memegang nilai-nilai kejujuran. Pemerintahnya
menjalankan sistem pendidikan dengan penuh kredibilitas dan integritas,
demikian juga sekolah-sekolah dan guru-guru di sana. Ini yang harus kita
contoh. Pendidikan bukanlah sekedar masalah ilmu dan pengetahuan, tapi
juga karakter. Bahkan karakterlah yang seharusnya paling utama. Fondasi
setiap bentuk pendidikan adalah karakter, dan ini tidak boleh
dikorbankan dengan alasan apapun.
Untuk Indonesia Yang Lebih Baik
Saya berpendirian bahwa kebijakan UN perlu ditinjau ulang. Dari
perspektif kebijakan, ujian standarisasi tingkat nasional memang ada
manfaatnya, namun dampak negatifnya harus ditindaklanjuti dengan serius,
seksama, dan bijaksana. Menurut saya wewenang kelulusan harus
dikembalikan kepada guru dan sekolah sesuai dengan UU Sisdiknas yang
kita punya. Jika ada yang tidak setuju, maka gunakanlah cara-cara yang
tertib, beradab, dan konstitusional untuk meninjau ulang pasal-pasal
dalam UU tersebut. Janganlah gunakan pendekatan kekuasaan, apalagi
dengan arogansi dan mentalitas feodal.
Jika memang ingin tetap dipertahankan, jadikanlah ujian standarisasi
tingkat nasional tersebut sebagai salah satu (bukan satu-satunya) alat
pemetaan kualitas pendidikan kita. Tunjukkan hasil dan manfaatnya dengan
transparan. Dengan segala keterbatasan model ujian standarisasi,
buatlah tes yang betul-betul berkualitas, mungkin setara dengan TOEFL,
IELTS, dsb. Laksanakan semua proses dengan penuh integritas dan
kredibilitas. Banyak pekerjaan rumah lain dalam meningkatkan kualitas
pendidikan kita, seperti peningkatan kualitas dan profesionalitas guru
dan kepala sekolah, penjembatanan kesenjangan sarana dan prasarana
sekolah-sekolah yang termarginalkan oleh kebijakan RSBI, dll. Kembali,
laksanakanlah semuanya dengan penuh integritas dan kredibilitas.
Namun yang terpenting saat ini adalah penyembuhan luka-luka moral dan
luka-luka psikologis yang telah sekian lama merongrong hati sanubari
anak-anak kita, harapan dan tumpuan masa depan bangsa Indonesia. Rawat
dan sembuhkanlah luka-luka itu. Luka-luka yang telah menyebabkan
hilangnya rasa percaya diri terhadap kejujuran, yang telah membentuk
budaya ketidakjujuran. Kita tidak boleh terperangkap pada budaya ini,
karena itu sama sekali bukan pilihan. UN tidak boleh jadi alasan untuk
membolehkan apalagi mencontohkan ketidakjujuran. Semua institusi
pendidikan formal kita harus kembali menjadi suri teladan dan penjaga
nilai-nilai moral. Kurikulum dan ujian kita bisa jadi berantakan, tapi
jangan sampai nilai utama terkorbankan. Kita bisa, dan pernah, lebih
baik.***
----------
* Dosen Ilmu Pendidikan di Sampoerna School of Education, Jakarta. Saat
ini ia sedang menempuh studi S3 di Michigan State University dengan
fokus Kebijakan Pendidikan dan Pendidikan Guru.
Sumber : http://www.bincangedukasi.com/antara-un-ebtanas-csat.html
Sumber : http://www.bincangedukasi.com/antara-un-ebtanas-csat.html
Artikel Terkait