Penulis : Widha Nur Shanti
----
BAB 1
PENDAHULUAN
Filsafat kontruktivisme dewasa ini
mempunyai pengaruh besar dalam dunia pendidikan. Dengan berlandaskan pada teori
ini, model pembelajaran sangat berbeda dengan model pembelajaran klasik. Dalam
pendidikan, aliran konstruktivisme menghendaki agar peserta didik dapat
menggunakan kemampuannya secara konstruktif untuk meyesuaikan diri dengan
tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Peserta didik harus aktif
mengembangkan pengetahuan, tidak hanya menunggu arahan dan petunjuk dari guru.
Aliran ini mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif.
Penerapannya dalam proses
pembelajaran, aliran konstruktivisme memberikan keleluasaan kepada siswa untuk
aktif membangun kebermaknaan sesuai dengan pemahaman yang telah mereka miliki,
memerlukan serangkaian kesadaran akan makna bahwa pengetahuan tidak bersifat
obyektif atau stabil, tetapi bersifat temporer atau selalu berkembang tergantung
pada persepsi subjektif individu dan individu yang berpengetahuan
menginterpretasikan serta mengkonstruksi suatu realisasi berdasarkan pengalaman
dan interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan berguna jika mampu digunakan
untuk memecahkan suatu permasalahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat
Konstruktivisme
Sekitar tahun 1985 orang jarang
mendengar kata konstruktivisme (Davis, Maher dan Nodding, 1990). Istilah
konstruktivisme dikenal mengacu pada teori perkembangan struktur kognitif dari
Piaget (English dan Halford, 1995: 11). Dalam perkembangannya konstruktivisme
memiliki arti bermacam-macam. Berikut ini disajikan beberapa pendapat tentang
pengertian konstruktivisme yang dikemukakan oleh filsof, psikolog, dan
pendidik.
Konstruktivisme yang dikenal dari
kerja Piaget yang menyatakan bahwa pengetahuan konseptual tidak dapat
ditransfer dari seseorang ke orang lainnya, melainkan harus dikonstruksi oleh
setiap orang berdasar pengalaman mereka sendiri (Nik Pa dalam English dan
Halford, 1995: 11). Menurut Giambattista Voco (1710), pengetahuan seseorang
merupakan hasil konstruksi individu, melalui interaksi dengan objek, fenomena,
pengalaman dan lingkungannya. Konstrukivisme menurut von Glasersfeld (von
Glasersfeld, 1984) adalah pengetahuan secara aktif diterima orang melalui
indera atau melalui komunikasi atau pengalaman. Orang menginterpretasi dan
mengkonstruksi realitas berbasis pengalaman dan interaksinya dengan
lingkungannya. Fosnot (dalam Doolittle dan Camp, 1999: 5) menyatakan konsep
bahwa siswa membangun pengetahuan berdasar pengalaman dinamakan
konstruktivisme.
Nodding (1990:7) menyatakan
konstruktivisme dapat dikarakteristikkan sebagai posisi kognitif dan perspektif
metodologis. Slavin (2000: 256) menyatakan konstruktivisme memandang siswa
secara konstan memeriksa informasi baru terhadap aturan-aturan lama dan
merevisi aturan-aturan bila mereka bekerja dalam waktu relatif singkat. Menurut
Doolitle dan Camp (1999) inti dari konstruktivisme adalah aktif memahami dan
membangun pengetahuan sendiri berdasar pengalamannya. Konstruktivisme menurut
pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi
mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological)
melalui interaksi sosial dan intra-psikologi (intrapsychological) dalam
benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal
ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar
orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu). Vygotsky menekankan pada pentingnya
hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan.
Berdasar beberapa pendapat
tentang pengertian konstruktivisme yang di kemukakan Piaget, Nik Pa,
Giambattista Voco, von Glasersfeld, Fosnot, Nodding, Slavin, Doolitlle dan Camp,
dan Vygotsky tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah
suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah
hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia menkonstruksi
pengetahuan mereka secara individu maupun melalui interaksi mereka dengan
objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap
benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham konstruktivisme,
pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain,
tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan
sesuatu yang sudah jadi tetapi merupakan suatu proses yang berkembang terus-menerus
Dan dalam proses itulah keaktifan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu
akan sangat berperan.
Berbicara tentang konstruktivisme
tidak dapat lepas dari peran Piaget. J. Piaget adalah psikolog pertama yang
menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar. Menurut Wadsworth
(1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan intelektual Piaget dipengaruhi
oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori
adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme selalu beradaptasi dengan
lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan memperkembangkan hidup, demikian
juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan dengan pengalaman, tantangan,
gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai seseorang ditantang untuk
menanggapinya. Dan dalam menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema
pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total.
Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisik
maupun pengalaman mental. Cara belajar berfilsafat juga tidak bisa secara
instan. Kita bisa berfilsafat dengan menggunakan pikiran kita yang disertai
dengan pengetahuan-pengetahuan dan pengalaman-pengalaman kita. Salah satu cara
yang paling mudah untuk kita mendapatkan pengetahuan sebagai modal kita dalam
berfilsafat adalah membaca.
Berkenaan dengan asal-usul
konstruktivisme, menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Paul Suparno (2008),
pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin
yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun sebenarnya
gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology
dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De
Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata,
“Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia
menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’
Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain
halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus
menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak
membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama gagasannya tidak dikenal
orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan
estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget
ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
Doolittle dan Camp (1999)
memandang konstruktivisme tidak sebagai satu kesatuan (unitary), tetapi
memandang sebagai rangkaian (continuum) teoritis. Dengan memandang
konstruktivisme sebagai rangkaian teoritis ini, Doolitte dan Camp
mengklasifikasikan pengertian konstruktivisme ke dalam:
1. Konstruktivisme Kognitif
Dari sudut pandang
konstruktivisme kognitif, pengetahuan merupakan hasil internalisasi dan
rekonstruksi dari realitas eksternal (Doolittle dan Camp, 1999). Hasil dari
proses internalisasi ini adalah struktur-struktur dan proses-proses kognitif
yang secara akurat berkaitan dengan struktur-struktur dan proses-proses yang
terdapat di dunia nyata. Proses internalisasi dan rekonstruksi dari realitas
eksternal adalah belajar, yakni belajar adalah proses membangun model-model dan
representasi-representasi internal yang merupakan cerminan atau refleksi dari
struktur-struktur eksternal yang ada dalam dunia nyata.
2. Konstruktivisme Radikal
Konstruktivisme radikal tergolong
konstruktivisme individu sebagaimana konstruktivisme Piaget. Konstruktivisme
radikal bukan suatu teori pengembangan atau teori pembelajaran, tetapi suatu
model pengetahuan yang dapat digunakan oleh para ahli teori pengembangan
pembelajaran untuk mengembangkan suatu model pembelajaran (Steffe, 1996).
Pembelajaran beracuan konstruktivisme radikal memfokuskan pada siswa secara
individu mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri.
3. Konstruktivisme Sosial
Konstruktivisme sosial meyakini
bahwa pengetahuan merupakan hasil dari interaksi sosial dan pemakaian bahasa,
jadi merupakan pengalaman yang dihasilkan dari kesepakatan melalui tukar
pendapat dalam interaksi sosial, dan bukan pengalaman yang hanya dihasilkan
secara individu.
Berkaitan dengan pembelajaran,
konstruktivisme kognitif dipandang sebagai bentuk konstruktivisme “lemah”.
Istilah “lemah” di sini bukan didasarkan pada pertimbangan nilai, misalnya
lebih baik atau lebih buruk, tetapi hanya suatu indikasi keterkaitannya dengan
asumsi-asumsi dasar epistemologi konstruktivisme. Konstruktivisme kognitif
memandang konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses yang bersifat teknis
dalam menciptakan struktur-struktur mental, dan kurang memperhatikan aspek pengetahuan
subyektif yang ada dalam benak siswa secara individu.
Konstruktivisme radikal dan
konstruktivisme sosial keduanya dipandang sebagai bentuk konstruktivisme yang
lebih “kuat”. Konstruktivisme radikal memperhatikan konstruksi struktur mental
dan makna secara individu dengan menginterpretasi dan mengkonstruksi pengalaman
berinteraksi dengan lingkungan. Dalam hal ini konstruksi radikal dipadang
memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding konstruktivisme kognitif yang
hanya memperhatikan konstruksi struktur mental (Doolittle dan Camp, 1999).
Dalam konstruktivisme sosial lebih memperhatikan interaksi sosial dari pada
konstruksi pengetahuan secara individu; penekannya pada konstruksi makna dalam
suatu kegiatan interaksi sosial.
Penulis berpendapat dimungkinkan
mengembangkan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang pada
prinsipnya mengacu konstruktivisme yang menekankan pada aktivitas siswa
mengkonstruksi pengetahuan secara individu berdasar pengalaman siswa sendiri
tetapi didalamnya juga memuat kegiatan pembelajaran yang melibatkan interaksi
sosial untuk mendukung proses konstruksi pengetahuan matematika yang dilakukan
secara individu tersebut.
B. Hakekat Pembelajaran
Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Menurut kaum konstruktivis, belajar
merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog,
pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan
dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang
sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut
antara lain bercirikan sebagai berikut:
- Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
- Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
- Belajar bukanlah kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
- Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
- Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
- Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno 2001:61).
Sehingga bisa dikatakan bahwa
belajar adalah lebih merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada
suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan
mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu perkembangan pemikiran yang berkembang
dengan membuat kerangka pengertian yang baru. Siswa harus punya pengalaman
dengan membuat hipotese, predikti, mengetes hipotesa, memanipulasi objek,
memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan
refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain
untuk membentuk konstruksi yang baru.
C. Pengaruh Filsafat
Konstruktivisme dalam Pendidikan
Sebenarnya prinsip-prinsip
konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika.
Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi
kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan sains dan
matematika. Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah :
- Pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif.
- Tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik.
- Mengajar adalah membantu peserta didik belajar.
- Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.
- Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik.
- Guru adalah fasilitator.
Berkaitan dengan diberlakukannya
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan
kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran
yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh
dari setiap silabus yang disusunnya. Hal yang tetap harus diperhatikan adalah
kesiapan lingkungan belajar, baik pendidik, lingkungan, sarana prasarana dan
pendukung lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, bisa
jadi terjadi hal-hal yang melenceng dari harapan. Karena peserta didik
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya
tidak sesuai dengan hasil konstruksi para ilmuwan, maka muncullah salah
pengertian atau konsep alternatif. Dalam hal seperti ini diperlukan penelusuran
dan penelitian untuk menemukan permasalahan dan mengatasinya.
D. Implementasi Filsafat
Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Filsafat konstruktivisme
memberikan landasan bagi lahirnya teori belajar konstruktivistik. Untuk
memahami teori belajar ini ada baiknya dibuat pembandingan dengan teori belajar
yang lain, yang memang sangat bertolak belakang. Teori belajar pembandingnya
adalah teori behavioristik. Teori ini dipilih karena akan memperjelas konsep
konstruktivistik yang dipaparkan di sini. Belajar, menurut Thorndike, seorang
penganut paham behavioristik, merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-sosiasi
antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang
diberikan atas stimulus tersebut. Jadi terjadinya belajar adalah pembentukan
asosiasi antara stimulus dan respon (Gasong,
http://www.images.dani7bd.multiply.com).
Kaum behavioristik meyakini bahwa
perilaku merupakan kumpulan reflek yang diakibatkan proses conditioning. Reflek
berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Dan perilaku akibat pembiasaan ini
disebut belajar. Proses belajar bagi kaum behavioristik berlangsung tanpa
mempertimbangkan potensi dan kemauan serta kesadaran peserta didik. Maka model
pembelajaran bersifat teacher centered. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh
institusi dan peserta didik tinggal mengikutinya. Implikasinya: materi
pelajaran ditentukan pengajar, pengajar aktif menerangkan dan peserta didik
hanya pasif menerima hingga saatnya evaluasi. Bisa dikatakan pengajar menjadi
satu-satunya sumber belajar. Motivasi belajar hanya dirangsang dengan nilai.
Akibatnya tujuan belajar berbelok hanya sekedar sederetan angka. Tak jarang
peserta didik dijadikan kebanggaan institusi dengan nilai-nilai yang tinggi,
baik lewat ujian nasional maupun lomba-lomba. Akibatnya segala potensi, kemauan
dan waktu peserta didik terserap hanya demi nilai (Wicaksono,
http://www.rohadieducation.wordpress.com ).
Model pembelajaran Konstruktivistik
adalah alternatif yang mampu menjawabi kekurangan paham behavioristik. Secara
sederhana, konstruktivisme, yang dipelopori oleh J. Piaget, beranggapan bahwa
pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari kita yang mengenal sesuatu.
Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian/pengetahuan secara
aktif (tidak hanya menerima dari guru) dan terus-menerus. Metode trial and
error, dialog dan partisipasi peserta didik sangat berarti sebagai suatu proses
pembentukan pengetahuan dalam pendidikan (Suparno: 2008). Menurut teori belajar
konstruktivisme pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu saja dari guru kepada
murid. Artinya, peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya (Hamzah,
http://akhmadsudrajat . wordpress.com).
Yang terpenting dalam teori
konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, peserta didiklah yang
harus mendapatkan penekanan. Mereka harus aktif mengembangkan pengetahuannya,
mereka pula yang harus bertanggungjawab atas hasilnya. Belajar diarahkan pada
experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan berdasar pengalaman konkret
di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, dan kemudian dijadikan ide dan
pengembangan konsep baru. Beberapa hal perlu mendapat perhatian: mengutamakan
pembelajaran yang nyata dan relevan, mengutamakan proses, menanamkan
pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial dan dilakukan dalam upaya
mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id). Dengan melihat
perbedaan keduanya, konsep pembelajaran konstruktivistik akan lebih jelas untuk
dipahami.
Menurut pandangan
konstruktivistik belajar dan pembelajaran memiliki ciri : 1) Tujuan
pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar. 2) Pengetahuan adalah non-objective,
selalu berubah. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret,
aktivitas kolaborative, refleksi serta interpretasi. Peserta didik memiliki
pemahaman tergantung pengalaman dan perspektif interpretasinya sehingga
hasilnya individualistic. 3) Penataan lingkungan belajar: tidak teratur,
semrawut, peserta didik bebas, kebebasan
dipandang sebagai penentu keberhasilan dan control belajar dipegang peserta
didik. 4) Dalam strategi pembelajaran, lebih diarahkan untuk meladeni pandangan
peserta didik. Aktivitas belajar lebih didasarkan pada data primer.
Pembelajaran menekankan proses. 5) Evaluasi menekankan pada penyusunan makna,
menggali munculnya berpikir dengan pemecahan ganda. Dan evaluasi merupakan
bagian utuh dari pembelajaran, dan menekankan pada ketrampilan proses (Gasong,
http://www.images.dani7bd. multiply.com).
Berkaitan dengan pembelajaran
matematika, pembelajaran matematika beracuan kontruktivisme adalah pembelajaran
yang melibatkan siswa aktif belajar memahami dan membangun pengetahuan
matematika berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam proses membangun pengetahuan
matematika, siswa berinteraksi dengan lingkungan dan dihadapkan dengan
informasi baru, informasi baru tersebut oleh kognisi siswa diserap melalui
adaptasi. Sehingga aturan-aturan lama dapat dimodifikasi atau siswa membentuk
aturan-aturan baru dalam benaknya.
Dari beberapa uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang mengacu pada teori belajar
konstruktivisme lebih memfokuskan pada keberhasilan peserta didik dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Guru menjadi fasilitator yang membantu
peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi. Namun tetap harus diperhatikan bahwa model pembelajaran ini harus
didukung oleh lingkungan yang tepat. Tujuan model belajar ini adalam
menciptakan peserta didik yang selalu terdorong mengembangkan diri melalui
belajar. Untuk mendorong munculnya mentalitas demikian, institusi pendidikan
harus ikut menciptakan situasi masyarakat pebelajar. Semua elemen didorong
menjadi manusia pebelajar. Model konstruktivistik akan mencapai hasil optimal
jika diterapkan dalam lingkungan manusia pebelajar.
E. Kelebihan dan Kekekurangan
Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Kelebihan pendekatan
konstruktivisme antara lain:
- Guru bukan satu-satunya sumber belajar. Peserta didik menurut konstruktivisme adalah peseta didik yang aktif mengkonstruksi pengetahuan yang dia dapat. Mereka membandingkan pengalaman kognitif mereka dengan persepsi kognitif mereka tentang sesuatu. Jadi guru dalam pembelajaran konstruktivisme hanya fasilitator, bukan model atau sumber utama yang bertugas untuk mentransfer ilmu pada siswa.
- Pembelajar lebih aktif dan kreatif. Sebagai akibat konstruksi mandiri pembelajar terhadap sesuatu, pembelajar dituntut aktif dan kreatif untuk mengaitkan ilmu baru yang mereka dapat dengan pengalaman mereka sebelumnya sehingga tercipta konsep yang sesuai dengan yang diharapkan.
- Pembelajaran menjadi lebih bermakna. Belajar bermakna berarti mengkonstruksi informasi dalam struktur pengertian lamanya. Jadi dapat dijabarkan bahwa dalam konstruktivisme, pembelajar mendapatkan ilmunya tidak hanya dengan mendengarkan penjelasan gurunya, tetapi juga dengan mengaitkan pengalaman pribadi mereka dengan informasi baru yang mereka dapat. Sesuatu yang didapat dengan proses pencarian secara mandiri akan menimbulkan makna yang mendalam terhadap ilmu baru itu.
- Pembelajar memiliki kebebasan belajar. Kebebasan disini berarti bahwa pembelajar dapat dengan bebas mengkonstruksi ilmu baru itu sesuai pengalamannya sebelumnya, sehingga tercipta konsep yang diinginkan.
- Perbedaan individual terukur dan dihargai. Karena proses belajar sesuai konstruktivisme adalah proses belajar mandiri, maka potensi individu akan terukur dengan sangat jelas.
- Membina sikap produktif dan percaya diri. Pembelajar diharapkan selalu mengkonstruksi ilmu barunya, sehingga mereka akan produktif menciptakan konsep baru tentang sesuatu untuk diri mereka sendiri. Rasa percaya diri juga dipupuk dalam filsafat ini dengan memberikan kesempatan bagi pembelajar untuk menggunakan pengalaman mereka sendiri untuk melahirkan konsep baru yang nantinya akan mereka aplikasikan untuk mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
- Proses evaluasi difokuskan pada penilaian proses. Filsafat konstruktivisme menuntun pembelajar untuk mengkonstruksi ilmu barunya dengan merefleksi pada pengalaman sebelumnya untuk membuat konsep baru. Dalam praktek pengajaran, penyelesaian materi dan hasil bukanlah merupakan hal terpenting. Yang lebih penting adalah proses pembelajaran yang lebih menekankan partisipasi murid. Belajar adalah kegiatan murid untuk membentuk pengetahuan.
- Berfikir proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan.
- Faham, karena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengaplikasikannya dalam semua situasi.
- Ingat :karena murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
- Kemahiran sosial :Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan teman dan guru dalam membina pengetahuan baru.
Disisi lain pendekatan
konstruktivisme juga memiliki kelemahan diantaranya adalah:
- Kemauan dan kemampuan belajar yang lemah dari pembelajar akan mengakibatkan proses konstruksi menjadi terhambat, karena dalam filsafat konstruktifisme yang berperan aktif dalam pembelajaran adalah pembelajar.
- Terkadang pembelajar tidak memiliki ketekunan dan keuletan dalam mengkonstruksi pemahamannya terhadap sesuatu, itu bisa saja menjadi kendala dalam prosesnya mengerti sesuatu.
- Pembelajaran kelas dapat lama, bila ada beberapa siswa yang kurang cepat berpikir.
- Gerak kelas dapat sangat berlainan bila siswanya beraneka inteligensi.
- Pengaturan kelas kadang lebih sulit.
- Pendekatan konstruktivisme memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran yang lain, membutuhkan kelengkapan sarana/prasarana dan media penunjang pembelajaran serta menuntut adanya ketrampilan dan kecakapan lebih dari guru dalam mengelola kelas yang dikembangkan dengan pendekatan model pembelajaran konstruktivisme.
BAB III
KESIMPULAN
Secara sederhana dapat
disimpulkan, filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah
hasil konstruksi manusia. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui
interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.
Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai.
Prinsip-prinsip konstruktivisme
telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika, namun demikian
sekarang prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan ke dalam semua mata
pelajaran. Dan berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan
para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan,
prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus
yang disusunnya serta mewujudkan secara nyata dalam pembelajaran.
Namun tetap harus diperhatikan
bahwa model pembelajaran konstruktivistik ini harus didukung oleh lingkungan
yang tepat dan didukung oleh institusi pendidikan yang berwawasan luas,
Institusi pendidikan harus ikut menciptakan situasi masyarakat pebelajar dengan
menyiapkan sarana-prasarana, lingkungan, SDM dan elemen pendukung lainnya.
Semua elemen didorong menjadi manusia pebelajar. Model konstruktivistik akan
mencapai hasil optimal jika diterapkan dalam lingkungan manusia pebelajar.
DAFTAR PUSTAKA
- Davis, R.B. 1990. Discovery Learning and Constructivism. Constructivist View on the Teaching and Learning of Mathematics. Nel Noddings (Eds.): Journal for Research in Mathematics Educations. Monograph Number 4. (halaman 93 – 106). The National Council of Teacher of Mathematics.
- Doolittle, P.E dan Camp, W.G. 1999. Constructivism: The Career and Technical Education Perspective. Kirk Swortsel (Ed.): Journal of Vocational and Technical Education. Volume 16, Number 1.
- English, L.D dan Halford, G.S. 1995. Mathematics Educations Model and Process. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
- Gasong, Dina. Tanpa tahun. Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai Alternative Mengatasi Masalah Pembelajaran. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://www.images.dani7bd. multiply.com.
- Hamzah, 2008. Teori Belajar Konstruktivisme. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com
- Herdisaksul. 2008. Beberapa Pandangan dalam Filsafat. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://www.slideshare. net/herdisaksul/aliran-filsafat.
- Lela. 2009. Pembelajaran Matematika Berdasarkan Filosofi Konstruktivistik. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://lela68.wordpress.com/2009/05/22/tugas-5-konstruktivisme/ .
- Markus Basuki. 2010. Filsafat Konstruktivisme. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://cor amorem.blogspot.com/ 2010/01/filsafat-konstruktivisme.html.
- Pranata, Y. Mulyadi. Konstruktivistik: Arah Baru Pembelajaran Desain. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://www.puslit.petra.ac.id .
- Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allyn & Bacon.Wadsworth (1989)
- Steffe, L. P. Eds., (1996), Theories of Mathematics. Aukulad: Penguin Books.
- Suparno, Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
- Von. Glassersfeld, E. 1984. An Introduction to Radical Constructivism. Author’s translation in P. Watzwalick (Ed), The Invented Reality. Newyork: Norton, 1984. Originally published P. Watzlawick (Ed), Die Erfundene Wirklichkeit. Munich: Piper, 1981. Erns von Glasersfeld, on line paper, html.
- Wicaksono, Rohadi. 2007. Mengapa Harus Konstruktivistik. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://www. rohadieducation.wordpress.com.
------
Artikel Terkait